TEAM :D

Selasa, 30 November 2010

SELINGKUHI PAK RT

Aku tinggal di kompleks perumahan BTN di Jakarta. Suamiku termasuk orang yang selalu sibuk. Sebagai arsitek swasta, tugasnya boleh dibilang tidak kenal waktu. Walaupun dia sangat mencintaiku, bahkan mungkin memujaku, aku sering kesepian. Aku sering sendirian dan banyak melamun membayangkan betapa hangatnya dalam sepi itu Mas Adit, begitu nama suamiku, ngeloni aku. Saat-saat seperti itu membuat libidoku naik. Dan apabila aku nggak mampu menahan gairah seksualku, aku ambil buah ketimun yang selalu tersedia di dapur. Aku melakukan masturbasi membayangkan dientot oleh seorang lelaki, yang tidak selalu suamiku sendiri, hingga meraih kepuasan.


Yang sering hadir dalam khayalan seksualku justru Pak Parno, Pak RT di kompleks itu. Walaupun usianya sudah di atas 55 tahun, 20 tahun di atas suamiku dan 27 tahun di atas umurku, kalau membayangkan Pak Parno ini, aku bisa cepat meraih orgasmeku. Bahkan saat-saat aku bersebadan dengan Mas Aditpun, tidak jarang khayalan seksku membayangkan seakan Pak Parnolah yang sedang menggeluti aku. Aku nggak tahu kenapa. Tetapi memang aku akui, selama ini aku selalu membayangkan kemaluan lelaki yang gedee banget. Nafsuku langsung melonjak kalau khayalanku nyampai ke sana. Dari tampilan tubuhnya yang tetap kekar dan kokoh walaupun tua, aku bayangkan kontol Pak Parno juga kekar dan kokoh. Gede, panjang dan pasti tegar dilingkari dengan urat-urat di sekeliling batangnya. Ooohh.., betapa nikmatnya dientot kontol macam itu ..

Di kompleks itu, di antara ibu-ibu atau istri-istri, aku merasa akulah yang paling cantik. Dengan usiaku yang 28 tahun, tinggi 158 cm dan berat 46 kg, orang-orang bilang tubuhku sintal banget. Mereka bilang aku seperti Sarah Ashari, selebrity cantik yang binal adik dari Ayu Ashari bintang sinetron. Apalagi kalau aku sedang memakai celana jeans dengan blus tipis yang membuat buah dadaku yang cukup besar membayang. Hatiku selangit mendengar pujian mereka ini..

Pada suatu ketika, tetangga kami punya hajatan, menyunatkan anaknya. Biasa, kalau ada tetangga yang punya kerepotan, kami se-RT rame-rame membantu. Apa saja, ada yang di dapur, ada yang ngurus pelaminan, ada yang bikin hiasan atau menata makanan dan sebagainya. Aku biasanya selalu kebagian bikin pelaminan. Mereka tahu aku cukup berbakat seni untuk membuat dekorasi pelaminan itu. Mereka selalu puas dengan hasil karyaku.

Aku menggunakan bahan-bahan dekorasi yang biasanya aku beli di Pasar Senen. Pagi itu ada beberapa bahan yang aku butuhkan belum tersedia. Di tengah banyak orang yang pada sibuk macam-macam itu, aku bilang pada Mbak Surti, yang punya hajatan, untuk membeli kekurangan itu.

'Kebetulan Bu Mar, tuh Pak Parno mau ke Senen, mbonceng saja sama dia', Bu Kasno nyampaikan padaku sambil nunjuk Pak Parno yang nampak paling sibuk di antara bapak-bapak yang lain.
'Emangnya Pak Parno mau cari apaan?, aku nanya.
'Inii, mau ke tukang tenda, milih bentuk tenda yang mau dipasang nanti sore. Sama sekalian sound systemnya', Pak Parno yang terus sibuk menjawab tanpa menengok padaku.
'Iyaa deh, aku pulang bentar ya Pak Parno, biar aku titip kunci rumah buat Mas Adit kalau pulang nanti'. Segalanya berjalan seperti air mengalir tanpa menjadikan perhatian pada orang-orang sibuk yang hadir disitu.

Sekitar 10 menit kemudian, dengan celana jeans dan blus kesukaanku, aku sudah duduk di bangku depan, mendampingi Pak Parno yang nyopirin Kijangnya. Udara AC di mobil Pak Parno nyaman banget sesudah sepagi itu diterpa panasnya udara Jakarta. Pelan-pelan terdengar alunan dangdut dari radio Mara yang terdapat di mobil itu.

Saat itu aku jadi ingat kebiasaanku mengkhayal. Dan sekarang ini aku berada dalam mobil hanya berdua dengan Pak Parno yang sering hadir sebagai obyek khayalanku dalam hubungan seksual. Tak bisa kutahan, mataku melirik ke arah selangkangan di bawah kemudi mobilnya. Dia pakai celana drill coklat muda. Aku lihat di arah pandanganku itu nampak menggunung. Aku nggak tahu apakah hal itu biasa. Tetapi khayalanku membayangkan itu mungkin kontolnya yang gede dan panjang.

Saat aku menelan ludahku membayangkan apa di balik celana itu, tiba-tiba tangan Pak Parno nyelonong menepuk pahaku. 'Dik Marini mau beli apaan? Di Senen sebelah mana?', sambil dia sertai pertanyaan ini dengan nada ke-bapak-an.
Dan aku bener-bener kaget lho. Aku nggak pernah membayangkan Pak RT ini kalau ngomong sambil meraba yang di ajak ngomong.
'Kertas emas dan hiasan dinding, Pak. Di sebelah toko mainan di pasar inpress ituu..', walaupun jantungku langsung berdegup kencang dan nafasku terasa sesak memburu, aku masih berusaha se-akan-akan tangan Pak Parno di pahaku ini bukan hal yang aneh.
Tetapi rupanya Pak Parno nggak berniat mengangkat lagi tangannya dari pahaku, bahkan ketika dia jawab balik, 'Ooo, yyaa.. aku tahu ..', tangannya kembali menepuk-nepuk dan digosok-gosokkanya pada pahaku seakan sentuhan bapak yang melindungi anaknya.

Ooouuiihh.. aku merasakan kegelian yang sangat, aku merasakan desakan erotik, mengingat dia selalu menjadi obyek khayalan seksualku. Dan saat Pak Parno merabakan tangannya lebih ke atas menuju pangkal pahaku, reaksi spontanku adalah menurunkan kembali ke bawah. Dia ulangi lagi, dan aku kembali menurunkan. Dia ulangi lagi dan aku kembali menurunkan. Anehnya aku hanya menurunkan, bukan menepisnya. Yang aku rasakan adalah aku ingin tangan itu memang tidak diangkat dari pahaku. Hanya aku masih belum siap untuk lebih jauh. Nafasku yang langsung tersengal dan jantungku yang berdegap-degup kencang belum siap menghadapi kemungkinan yang lebih menjurus.

Pak Parno mengalah. Tetapi bukan mengalah bener-bener. Dia tidak lagi memaksakan tangannya untuk menggapai ke pangkal pahaku, tetapi dia rubah. Tangan itu kini meremasi pahaku. Gelombang nikmat erotik langsung menyergap aku. Aku mendesah tertahan. Aku lemes, tak punya daya apa-apa kecuali membiarkan tangan Pak Parno meremas pahaku. 'Dik Maarr..', dia berbisik sambil menengok ke aku.

Tiba-tiba di depan melintas bajaj, memotong jalan. Pak Parno sedikit kaget. Otomatis tangannya melepas pahaku, meraih presnelling dan melepas injakan gas. Kijang ini seperti terangguk. Sedikit badanku terdorong ke depan. Selepas itu tangan Pak Parno dikonsentrasikan pada kemudi. Jalanan ke arah Senen yang macet membuat sopir harus sering memindah presnelling, mengerem, menginjak gas dan mengatur kemudi. Aku senderkan tubuhku ke jok. Aku nggak banyak ngomong. Aku kepingin tangan Pak Parno itu kembali ke pahaku. Kembali meremasi. Dan seandainya tangan itu merangkak ke pangkal pahaku akan kubiarkan. Aku menjadi penuh disesaki dengan birahi. Mataku kututup untuk bisa lebih menikmati apa yang barusan terjadi dan membiarkan pikiranku mengkhayal.

Benar. Sesudah jalanan agak lancar, tangan Pak Parno kembali ke pahaku. Aku benar-benar mendiamkannya. Aku merasakan kenikmatan jantungku yang terpacu dan nafasku yang menyesak dipenuhi rangsangan birahi. Langsung tangan Pak Parno meremasi pahaku. Dan juga naik-naik ke pangkal pahaku. Tanganku menahan tangannya. Eeeii malahan ditangkapnya dan diremasinya. Dan aku pasrah. Aku merespon remasannya. Rasanya nikmat untuk menyerah pada kemauan Pak Parno. Aku hanya menutup mata dengan tetap bersender di jok sambil remasan di tangan terus berlangsung.

Sekali aku nyeletuk,
'N'tar dilihat orang Pak',
'Ah, nggaakk mungkin, kacanya khan gelap. Orang nggak bisa melihat ke dalam', aku percaya dia.
Sesudah beberapa saat rupanya desakan birahi pada Pak Parno juga menggelora,
'Dik Mar.. kita jalan-jalan dulu mau nggak?', dia berbisik ..
'Kemana..?', pertanyaanku yang aku sertai harapan hatiku ..
'Ada deh.. Pokoknya Dik Mar mau khan..'.
'Terserah Pak Parno.., Tapinya n'tar ditungguin orang-orang .., n'tar orang-orang curiga .. lho'.
'Iyaa, jangan khawatirr.., paling lama sejamlah.', sambil Pak Parno mengarahkan kemudinya ke tepi kanan mencari belokan ke arah balik. Aku nggak mau bertanya, mau ngapain 'sejam'??

Persis di bawah jembatan penyeberangan dekat daerah Galur, Pak Parno membalikkan mobilnya kembali menuju arah Cempaka Putih. Ah.. Pak Parno ini pasti sudah biasa begini. Mungkin sama ibu-ibu atau istri-istri lainnya. Aku tetap bersandar di jok sambil menutup mataku pura-pura tiduran. Dengan penuh gelora dan deg-degan jantungku, aku menghadapi kenyataan bahwa beberapa saat lagi, mungkin hanya dalam hitungan menit, akan mengalami saat-saat yang sangat menggetarkan. Saat-saat seperti yang sering aku khayalkan. Aku nggak bisa lagi berpikir jernih. Edan juga aku ini.., apa kekurangan Mas Adit, kenapa demikian mudah aku menerima ajakan Pak Parno ini. Bahkan sebelumnya khan belum pernah sekalipun selama 8 tahun pernikahan aku disentuh apalagi digauli lelaki lain.

Yang aku rasakan sekarang ini hanyalah aku merasa aman dekat Pak Parno. Pasti dia akan menjagaku, melindungiku. Pasti dia akan mengahadpi aku dengan halus dan lembut. Bagaimanapun dia adalah Pak RT kami yang selama ini selalu mengayomi warganya. Pasti dia nggak akan merusak citranya dengan perbuatan yang membuat aku sakit atau terluka. Dan rasanya aku ingin banget bisa melayani dia yang selama ini selalu jadi obyek khayalan seksualku. Biarlah dia bertindak sesuatu padaku sepuasnya. Dan juga aku ingin merasakan bagaimana dia memuaskan aku pula sesuai khayalanku.
Agu gemetar hebat. Tangan-tanganku gemetar. Lututku gemetar. Kepalaku terasa panas. Darah yang naik ke kekepalaku membuat seakan wajahku bengap. Dan semakin kesana, semakin aku nggak bisa mencabut persetujuanku atas ajakan 'jalan-jalan dulu' Pak Parno ini.

Tiba-tiba mobil terasa membelok ke sebuah tempat. Ketika aku membuka mata, aku lihat halaman yang asri penuh pepohonan. Di depan mobil nampak seorang petugas berlarian menuntun Pak Parno menuju ke sebuah garasi yang terbuka. Dia acungkan tangannya agar Pak Parno langsung memasuki garasi berpintu rolling door itu, yang langsung ditutupnya ketika mobil telah yakin berada di dalam garasi itu dengan benar. Sedikit gelap. Ada cahaya kecil di depan. Ternyata lampu di atas sebuah pintu yang tertutup. Woo.. aku agak panik sesaat. Tak ada jalan untuk mundur. Kemudian kudengar Pak Parno mematikan mesin mobilnya.

'Nyampai Dik Mar ..',
'Di mana ini Pak ..?', terus terang aku nggak tahu di mana tempat yang Pak Parno mengajak aku ini. Tetapi aku yakin inilah jenis 'motel' yang sering aku dengar dari temen-temen dalam obrolan-obrolan porno dalam arisan yang diselenggarakan ibu-ibu kompleks itu.
Pak Parno tidak menjawab pertanyaanku, tetapi tangannya langsung menyeberang melewati pinggulku untuk meraih setelan jok tempat dudukku. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya. Dan yang kurasakan berikutnya adalah bibir Pak Parno yang langsung mencium mulutku dan melumat. Uh uh uh .. Aku tergagap sesaat.. sebelum aku membalas lumatannya. Kami saling melepas birahi. Aku merasakan lidahnya menyeruak ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah mengisapnya. Lidah itu menari-nari di mulutku. Bau lelaki Pak Parno menyergap hidungku. Beginilah rasanya bau lelaki macam Pak Parno ini. Bau alami tanpa parfum sebagaimana yang sering dipakai Mas Adit. Bau Pak RT yang telah 55 tahun tetapi tetap memancarkan kelelakian yang selama ini selalu menyertai khayalanku saat masturbasi maupun saat aku disebadani Mas Adit. Bau yang bisa langsung menggebrak libidoku, sehingga nafsu birahiku lepas dengan liarnya saat ini..

Sambil melumat, tangan-tangan Pak Parno juga merambah tubuhku. Jari-jarinya melepasi kancing-kancing blusku. Kemudian kurasakan remasan jari kasar pada buah dadaku. Uuiihh .. tak tertahankan. Aku menggelinjang. Menggeliat-geliat hingga pantatku naik-naik dari jok yang aku dudukin disebabkan gelinjang nikmat yang dahsyat. Sekali lagi aku merasa edaann .. aku digeluti Pak RT ku.

Bibir Pak Parno melumatku, dan aku menyambutnya dengan penuh kerelaan yang total. Akulah yang sesungguhnya menantikan kesempatan macam ini dalam banyak khayalan-khayalan erotikku. Ohh .. Pak Parnoo .. Tolongin akuu Pakee .. Puaskanlah menikmati tubuhkuu ..Paak, .. semua ini untuk kamu Paak .. Aku hauss .. Paak .. Tulungi akuu Paakk.

'Kita turun yok Dik Mar .., kita masuk dulu ..', Pak Parno menghentikan lumatannya dan mengajak aku memasuki motel ini.
Begitu masuk kudengar telpon berdering. Rupanya dari kantor motel itu. Pak Parno menanyakan aku mau minum apa, atau makanan apa yang aku inginkan yang bisa diantar oleh petugas motel ke kamar. Aku terserah Pak Parno saja. Aku sendiri buru-buru ke kamar kecil yang tersedia. Aku kebelet pengin kencing.

Saat kembali ke peraduan kulihat Pak Parno sudah telentang di ranjang. Agak malu-malu aku masuk ke kamar tidur ini, apalagi setelah melihat sosok tubuh Pak Parno itu. Dia menatapku dari ekor matanya, kemudian memanggil, 'Sini Dik Mar .. ', uh uh .. Omongan seperti itu .. masuk ketelingaku pada saat macam begini ..aku merasakan betapa sangat terangsang seluruh syaraf-syaraf libidoku. Aku, istri yang sama sekali belum pernah disentuh lelaki lain kecuali suamiku, hari ini dengan edannya berada di kamar motel dengan seseorang, yaitu Pak Parno, yang Pak RT kompleks rumahku, yang bahkan jauh lebih tua dari suamiku, bahkan hampir 2 kali usiaku sendiri. Dan panggilanya yang ..'Sini Dik Mar', itu .. terasa sangat erotis di telingaku.

Aku inilah yang disebut istri nyeleweng. Aku inilah istri yang selingkuh..uh uh uh .. Kenapa begitu dahsyat birahi yang melandaku kini. Birahi yang didongkrak oleh pengertiannya akan makna selingkuh dan aku tetap melangkah ke dalamnya. Birahi yang dibakar oleh pengertian nyeleweng dan aku terus saja melanggarnya. Uhh .. aku nggak mampu menjawab semuanya kecuali rasa pasrah yang menjalar .. Dan saat aku rubuh ke ranjang itu, yang kemudian dengan serta merta Pak Parno menjemputku dengan dekapan dan rengkuhan di dadanya, aku sudah benar-benar tenggelam dalam pesona dahsyatnya istri yang nyeleweng dan selingkuh, yang menunggu saat-saat lanjutannya yang akan dipenuhi kenikmatan dan gelinjang yang pasti sangat hebat bagi istri penyeleweng pemula macam aku ini.

'Dik Mar .. Aku sudah lama merindukan Dik Mar ini. Setiap kali aku lihat itu gambar bintang film Sarah Ashari yang sangat mirip Dik Mar .. Hatiku selalu terbakar .. Kapann aku bisa merangkul Dik Mar macam ini ..'.
Bukan main ucapan Pak Parno. Telingaku merasakan seperti tersiram air sejuk pegunungan. Berbunga-bunga mendengar pujian macam itu. Dan semakin membuat aku rela dan pasrah untuk digeluti Pak Parno yang gagah ini. Pak Parnoo ..Kekasihkuu.. Dia balik dan tindih tubuhku.

Dia langsung melahap mulutku yang gelagapan kesulitan bernafas. Dia masukkan tangannya ke blusku. Dirangkulinya tubuhku, ditekankannya bibirnya lebih menekan lagi. Disedotnya lidahku. Disedotnya sekaligus juga ludahku. Sepertinya aku dijadikan minumannya. Dan sungguh aku menikmati kegilaannya ini. Kemudian tangannya dia alihkan, meremasi kedua susuku yang kemudian dilepaskannya pula. Ganti bibirnyalah yang menjemput susuku dan puting-putingnya. Dia jilat dan sedotin habis-habisan. Dan yang datang padaku adalah gelinjang dari saraf-sarafku yang meronta. Aku nggak mampu menahan gelinjang ini kecuali dengan rintihan yang keluar dari mulutku ..Pakee ..Pakee .. Pakee ..ampun nikmattnya Pakee..

Tangannya yang lepas dari susuku turun untuk meraih celana jeansku. Dilepasi kancing celanaku dan dibuka resluitingnya. Tangannya yang besar dan kasar itu mendorongnya hingga celanaku merosot ke paha. Kemudian tangan itu merogoh celana dalamku. Aaaiiuuhh.. tak terperikan kenikmatan yang mendatangi aku. Aku tak mampu menahan getaran jiwa dan ragaku. Saat-saat jari-jari kasar itu merabai bibir kemaluanku dan kemudian meremasi kelentitku ..aku langsung melayang ke ruang angkasa tak bertepi. Kenikmatan .. sejuta kenikmatan .. ah .. Selaksa juta kenikmatan Pak Parno berikan padaku lewat jari-jari kasarnya itu.

Jari-jari itu juga berusaha menusuk lubang vaginaku. Aku rasakan ujungnya-unjungnya bermain di bibir lubang itu. Cairan birahiku yang sudah menjalar sejak tadi dia toreh-toreh sebagai pelumas untuk memudahkan masuknya jari-jarinya menembusi lubang itu. Dengan bibir yang terus melumati susuku dan tangannya merangsek kemaluanku dengan jari-jarinya yang terus dimainkan di bibir lubang vaginaku ..Ohh.. kenapa aku ini ..Ooohh.. Mas Adit .. maafkanlah akuu .. Ampunilahh .. istrimu yang nggak mampu mengelak dari kenikmatan tak bertara ini .. ampunilah Mas Adit .. aku telah menyelewengg .. aku nggak mampuu maass ..

Pak Parno terus menggumuli tubuhku. Blusku yang sudah berantakan memudahkan dia merangsek ke ketiakku. Dia jilati dan sedoti ketiakku. Dia nampak sekali menikmati rintihan yang terus keluar dari bibirku. Dia nampaknya ingin memberikan sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan dari suamiku. Sementara jari-jarinya terus menusuki lubang vaginaku. Dinding-dindingnya yang penuh saraf-saraf peka birahi dia kutik-kutik, hingga aku serasa kelenger kenikmatan. Dan tak terbendung lagi, cairan birahiku mengalir dengan derasnya.

Yang semula satu jari, kini disusulkan lagi jari lainnya. Kenikmatan yang aku terimapun bertambah. Pak Parno tahu persis titik-titik kelemahan wanita. Jari-jarinya mengarah pada G-spotku. Dan tak ayal lagi. Hanya dengan jilatan di ketiak dan kobokan jari-jari di lubang vagina aku tergiring sampai titik dimana aku nggak mampu lagi membendungnya. Untuk pertama kali disentuh lelaki yang bukan suamiku, Pak Parno berhasil membuatku orgasme.

Saat orgasme itu datang, kurangsek balik Pak Parno. Kepalanya kuraih dan kuremasi rambutnya. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kuhunjamkan kukuku ke punggungnya. Aku nggak lagi memperhitungkan bagaimana luka dan rasa sakit yang ditanggung Pak Parno. Pahaku menjepit tangannya, sementara pantatku mengangkat-angkat menjemputi tangan-tangan itu agar jarinya lebih meruyak ke lubang vaginaku yang sedang menanggung kegatalan birahi yang amat sangat. Tingkahku itu semua terus menerus diiringi racau mulutku.

Dan saat orgasme itu memuncratkan cairan birahiku aku berteriak histeris. Tangan-tanganku menjambret apa saja yang bisa kuraih. Bantalan ranjang itu teraduk. Selimut tempat tidur itu terangkat lepas dan terlempar ke lantai. Kakiku mengejang menahan kedutan vaginaku yang memuntahkan spermaku. "Sperma" perempuan yang berupa cairan-cairan bening yang keluar dari kemaluannya. Keringatku yang mengucur deras mengalir ke mataku, ke pipiku, kebibirku. Kusibakkan rambutku untuk mengurangi gerahnya tubuhku dalam kamar ber AC ini.

Saat telah reda, kurasakan tangan Pak Parno mengusap-usap rambutku yang basah sambil meniup-niup dengan penuh kasih sayang. Uh .. Dia yang ngayomi aku. Dia eluskan tangannya, dia sisir rambutku dengan jari-jarinya. Hawa dingin merasuki kepalaku. Dan akhirnya tubuhku juga mulai merasai kembali sejuknya AC kamar motel itu.

'Dik Mar, Dik Mar hebat banget yaa hh.. Istirahat dulu yaa..?!, Saya ambilkan minum dulu yaahh ..', suara Pak Parno itu terasa menimbulkan rasa yang teduh. Aku nggak kuasa menjawabnya. Nafasku masih ngos-ngosan. Aku nggak pernah menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan sehebat ini. Kamar motel ini telah menyaksikan bagaimana aku mendapatkan kenikmatan yang pertama kalinya saat aku menyeleweng dari kesetiaanku pada Mas Adit suamiku untuk disentuhi dan digumuli oleh Pak Parno, Pak RT kampungku, yang bahkan juga sering jadi lawan main catur suamiku di saat-saat senggang. Mas Adit .. Ooohh .. maass ..maafkanlah aakuu .. maass..

Sementara aku masih terlena di ranjang dan menarik nafas panjang sesudah orgasmeku tadi, Pak Parno terus menciumi dan ngusel-uselkan hidungnya ke pinggulku, perutku. Bahkan lidah dan bibirnya menjilati dan menyedoti keringatku. Tangannya tak henti-hentinya merabai selangkanganku. Aku terdiam. Aku perlu mengembalikan staminaku. Mataku memandangi langit-langit kamar motel itu. Menembusi atapnya hingga ke awang-awang. Kulihat Mas Adit sedang sibuk di depan meja gambarnya, sebentar-sebentar stip Staedler-nya menghapus garis-garis potlod yang mungkin disebabkan salah tarik.

Mungkin semua ini hanyalah soal perlakuan. Hanyalah perlakuan Mas Adit yang sepanjang perkawinan kami tidak sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan biologisku. Lihat saja Pak Parno barusan, hanya dengan lumatan bibirnya pada ketiakku dan kobokkan jari-jarinya yang menari-nari di kemaluanku, telah mampu memberikan padaku kesempatan meraih orgasmeku. Sementara kamu Mas, setiap kali kamu menggumuliku segalanya berjalan terlampau cepat, seakan kamu diburu-buru oleh pekerjaanmu semata. Kamu peroleh kepuasanmu demikian cepat.

Sementara saat nafsuku tiba dengan menggelegak, Mas Adit sudah turun dari ranjang dengan alasan ada yang harus diselesaikan, si anu sudang menunggu, atau si anu besok mau pergi dan sebagainya. Kamu ternyata sekali sangat egois. Kamu biarkan aku tergeletak menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Menunggu Mas Adit yang hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Yang aku nggak tahu kapan itu datangnya .. Sepertinya aku menunggu Godotku .., menunggu sesuatu yang aku tahu nggak akan pernah datang padaku ..

'Dik Marni capek ya ..', bisikkan Pak Parno membangunkan aku dari lamunan.
'Nggak Pak. Lagi narik napas saja .. Tadi koq nikmat banget yaa .., sedangkan Pak Parno belum ngapa-apain padaku .. Pakee .. Pak Parno juga hebat lhoo .. Baru di utik-utik saja aku sudah kelabakkan .. Hi hi hi ..', aku berusaha membesarkan hati Pak Parno yang telah memberikan kepuasan tak terhingga ini.

Rupanya Pak Parno hanya ingin nge-cek bahwa aku nggak tertidur. Dengan jawabanku tadi dengan penuh semangat dia turun dari ranjang. Dia lepasin sendiri kemejanya, celana panjangnya dan kemudian celana dalamnya. Baru pertama kali ini aku melihat lelaki lain telanjang bulat di depanku selain Mas Adit suamiku. Wuuiihh .. aku sangat tergetar menyaksikan tubuh Pak Parno.

Pada usianya yang lebih dari 55 tahun itu, sungguh Pak Parno memiliki tubuh yang sangat seksi bagi para wanita yang memandangnya. Bahunya bidang. Lengannya kekar, dengan otot-otot yang kokoh. Perutnya nggak nampak membesar, rata dengan otot-otot perut yang kencang, seperti papan penggilasan. Bukit dadanya yang kokoh, dengan dua putting susu besar kecoklatan, sangat menantang menunggu gigitan dan jilatan perempuan-perempuan binal. Dari tampilan tubuhnya yang kekar dan macho ini, aku lihat Pak Parno adalah sosok penggemar olahraga yang fanatik. Otot-otot di tubuhnya menunjukkan dia sukses berolahraga selama ini.

Pandanganku terus meluncur ke bawah. Dan yang paling membuatku serasa pingsan adalah .. kontolnya .. Aku belum pernah melihat kontol lelaki lain .. Kontol Pak Parno sungguh-sungguh merupakan kontol yang sangat mempesona dalam pandanganku saat ini. Kontol itu besar, panjang, keras hingga nampak kepalanya berkilatan dan sangat indah. Kepalanya yang tumpul seperti helm tentara Nazi, sungguh merupakan paduan erotis dan powerful. Sangat menantang. Dengan sobekan lubang kencing yang gede, kontol itu seakan menunggu mulut atau kemaluan para perempuan yang ingin melahapnya.

Sesudah telanjang Pak Parno juga menarik pakaianku, celana jeansku yang sedari tadi masih di separoh kakiku, kemudian blus serta kutangku dilepasnya. Kini aku dan Pak Parno sama-sama telanjang bulat. Pak Parno rebah di antara pahaku. Dia langsung nyungsep di selangkanganku. Lidahnya menjilati kemaluanku. Waduuiihh .. Ampunn .. Kenapa cara begini ini nggak pernah aku dapatkan dari Mas Aditt ..

Lidah kasar Pak Parno menusuk dan menjilati vaginaku. Bibir-bibir kemaluanku disedotinya. Ujung lidahnya berusaha menembusi lubang vaginaku. Pelan-pelan nafsuku terpancing kembali. Lidah yang menusuk lubang vaginaku itu membuat aku merasakan kegatalan yang hebat. Tanpa kusadari tanganku menyambar kepala Pak Parno dan jariku meremasi kembali rambutnya sambil mengerang dan mendesah-desah untuk kenikmatan yang terus mengalir. Tanganku juga menekan-nekan kepala itu agar tenggelam lebih dalam ke selangkanganku yang makin dilanda kegatalan birahi yang sangat. Pantatku juga ikut naik-naik menjemput lidah di lubang vaginaku itu.

Tak lama kemudian, Pak Parno memindahkan dan mengangkat kakiku untuk ditumpangkan pada bahunya. Posisi seperti itu merupakan posisi yang paling mudah bagi Pak Parno maupun bagi aku. Dengan sedikit tenaga aku bisa mendesak-desakkan kemaluanku ke mulut Pak Parno, dan sebaliknya Pak Parno tidak kelelahan untuk terus menciumi kemaluanku. Terdengar suara kecipak mulut Pak yang beradu dengan bibir kemaluanku. Dan desahan Pak Parno dalam merasakan nikmatnya kemaluanku tak bisa disembunyikan.

Posisi ini membuat kegatalan birahiku semakin tak terhingga hingga membuat aku menggeliat-geliat tak tertahankan. Pak Parno sibuk memegang erat-erat kedua pahaku yang dia panggul. Aku tidak mampu berontak dari pegangannya. Dan sampai pada akhirnya dimana Pak Parno sendiri juga tidak tahan. Rintihan serta desahan nikmat yang keluar dari mulutku merangsang nafsu birahi Pak Parno tidak bisa terbendung.

Sesudah menurunkan kakiku, Pak Parno langsung merangkaki tubuhku. Digenggamnya kontolnya, diarahkan secara tepat ke lubang kemaluanku. Aku sungguh sangat menunggu detik-detik ini. Detik-detik dimana bagiku untuk pertama kalinya aku mengijinkan kontol orang lain selain suamiku merambah dan menembus memekku. Seluruh tubuhku kembali bergetar, seakan terlempar ke-awang-awang. Sendi-sendiku bergetar .. menunggu kontol Pak Parno menembus kemaluanku .. Aku hanya bisa pasrah .. Aku nggak mampu lagi menghindar dari penyelewengan penuh nikmat ini .. Maafin aku Mas Adit ..


Aku menjerit kecil saat kepala tumpul yang bulat gede itu menyentuh dan langsung mendorong bibir vaginaku. Rasa kejut saraf-saraf di bibir vaginaku langsung bereaksi. Saraf-saraf itu menegang dan membuat lubang vaginaku menjadi menyempit. Dan akibatnya seakan tidak mengijinkan kontol Pak Parno itu menembusnya. Dan itu membuat aku penasaran,

'Santai saja Mar, biar lemesan..', terdengar samar-samar suara Pak Parno di tengah deru hawa nafsuku yang menyala-nyala.
'Pakee .. Pakee .. ayyoo .. Pakee tulungi saya Pakee .. Puas-puasin ya Pakee.. Saya serahin seluruh tubuh saya untuk Pakee ..', kedengerannya aku mengemis minta dikasihani.
'Iyaa Dik Marr .. Sebentar yaa Dik Marr ..', suara Pak Parno yang juga diburu oleh nafsu birahinya sendiri.

Kepala helm tentara itu akhirnya berhasil menguak gerbangnya. Bibir vaginaku menyerah dan merekah. Menyilahkan kontol Pak Parno menembusnya. Bahkan kini vaginakulah yang aktif menyedotnya, agar seluruh batang kontol gede itu bisa dilahapnya.

Uuhh .. aku merasakan nikmat desakan batang yang hangat panas memasuki lubang kemaluanku. Sesak. Penuh. Tak ada ruang dan celah yang tersisa. Daging panas itu terus mendesak masuk. Rahimku terasa disodok-sodoknya. Kontol itu akhirnya mentok di mulut rahimku. Terus terang belum pernah se-umur-umurku rahimku ngrasain disentuh kontol Mas Adit. Dengan sisa ruang yang longgar, kontol suamiku itu paling-paling menembus ke vaginaku sampai tengahnya saja. Saat dia tarik maupun dia dorong aku tidak merasakan sesak atau penuh seperti sesak dan penuhnya kontol Pak Parno mengisi rongga vaginaku saat ini.

Kemudian Pak Parno mulai melakukan pemompaan. Ditariknya pelan kemudian didorongnya. Ditariknya pelan kembali dan kembali didorongnya. Begitu dia ulang-ulangi dengan frekewnsi yang makin sering dan makin cepat. Dan aku mengimbangi secara reflek. Pantatku langsung pintar. Saat Pak Parno menarik kontolnya, pantatku juga menarik kecil sambil sedikit ngebor. Dan saat Pak Parno menusukkan kontolnya, pantatku cepat menjemputnya disertai goyangan igelnya.

Demikian secara beruntun, semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat, cepat, cepaatt ..ceppaatt. Payudaraku bergoncang-goncang, rambutku terburai, keringatku, keringat Pak Parno mengalir dan berjatuhan di tubuh masing-masing, mataku dan mata Pak Parno sama-sama melihat keatas dengan menyisakan sedikit putih matanya. Goncangan makin cepat itu juga membuat ranjang kokoh itu ikut berderak-derak. Lampu-lampu nampak bergoyang, semakin kabur, kabur, kabur. Sementara rasa nikmat semakin dominan. Seluruh gerak, suara, nafas, bunyi, desah dan rintih hanyalah nikmat saja isinya.

'Mirnaa .. Ayyoo.. Enakk nggak kontol padee Mirr, enak yaa.. enak Mirr .. ayyoo bilangg enak mana sama kontol si Adit .. Ayoo Mirr enak mana sama kontol suamimu ayoo bilangg ayyoo enakan manaa ..', Pak Parno meracau.
'Pakee .. enhaakk.. pakee.. Enhakk kontol pakee .. Panjangg .. Uhh gedhee bangett .. pakee.. Enakan kontol Pak Parnoo ..'.



Posisi nikmat ini berlangsung bermenit-menit. Tanpa terasa pergumulan birahi ini sudah berjalan lebih dari 1 jam. Suasana erotis tampak sangat indah dan menonjol. Erangan dan desahan erotik keluar bersahut-sahutan dar mulut kami. Kulihat tubuh kekar Pak Parno tampak berkilatan karena keringatnya. Dan hal itu membuat Pak Parno jauh terlihat seksi di mataku. Kulihat keringatnya mengalir dari lehernya, terus ke dada bidangnya, dan akhirnya ke tonjolan otot di perutnya. Dengan gemas kupermainkan putting susunya yang bekilatan itu. Kugigiti, kujilati, kuremas-remas. Dan Pak Parno yang merasakan itu, tambah buas gerakannya. Sodokan kontolnya tambah kencang di memekku dan kurasakan tangan-tangannya yang kasar merambahi payudaraku.


Pada akhirnya, setelah hampir 2 jam kami bercinta, aku mendapat orgasmeku 2 kali secara berturut-turut. Itu yang ibu-ibu sering sebut sebagai multi orgasme. Bukan mainn .. hanya dari Pak Parno aku bisa meraih multi orgasmeku inii .. Oohh Pak Parnoo.. terima kasihh .. Pak Parno mau memuaskan akuu.. Sekarangg ayoo .. Pakee biar aku yang memuaskan kamuu .. 10 menit kemudian...
Dan kontol Pak Parno aku rasakan berdenyut keras dan kuat sekali.. Kemudian menyusul denyut-denyut berikutnya. Pada setiap denyutan aku rasakan vaginaku sepertinya disemprot air kawah yang panas. Sperma Pak Parno berkali-kali muntah di dalam vaginaku.

Uhh .. Aku jadi lemess bangett .. Nggak pernah sebelumnya aku capek bersanggama. Kali ini seluruh urat-urat tubuhku serasa di lolosi. Dengan telanjang bulat kami sama telentang di ranjang motel ini. Di sinilah akhirnya terjadi untuk pertama kalinya aku serahkan nonokku beserta seluruh tubuhku kepada lelaki bukan suamiku, Pak Parno. Dan aku heran .. pada akhirnya.. tak ada rasa sesal sama sekali dari hatiku pada Mas Adit. Aku sangat ikhlaskan apa yang telah aku serahkan pada Pak Parno tadi. Dan dalam kenyataan aku mendapatkan imbalan kepuasan dari Pak Parno yang sangat hebat.

Di motel ini aku mengalami 3 kali orgasme. Dua kali beruntun aku mengalami orgasme dalam satu kali persetubuhan dan yang pertama sebelumnya, yang hanya dengan gumulan, ciuman dan jilatan Pak Parno di ketiakku sembari tangannya ngobok-obok kemaluanku aku bisa mendapatkan orgasme yang sangat memberikan kepuasan pada libidoku. Hal itu mungkin disebabkan karena adanya sensasi-sensasi yang timbul dari sikap penyelewengan yang baru sekali ini aku lakukan. Yaa.. pada akirnya aku toh berhak mendapatkannya .. tanpa menunggu Mas Adit yang sangat egois.

Sesungguhnya aku ingin tinggal lebih lama lagi di tempat birahi ini, namun Pak Parno mengingatkan bahwa waktu bernikmat-nikmat yang pertama kali kami lakukan ini sudah cukup lama. Pak Parno khawatir orang-orang rumah menunggu dan bertanya-tanya. Pak Parno mengajak selekasnya kami meninggalkan tempat ini dan kembali menyelesaikan pekerjaan yang telah kami sanggupi pada Mbak Surti dalam rangka membantu hajatannya.

Setelah kami mandi dan membersihkan tanda-tanda yang kemungkinan mencurigakan, kami kembali ke jalanan. Ternyata kemacetan jalan menuju ke Senen ini sangat parah di siang hari ini. Dengan adanya pembangunan jembatan layang pada belokan jalan di Galur, antrean mobil macet sudah terasa mulai dari pasar Cempaka Putih. Mobil Pak Parno serasa merangkak. Untung AC mobilnya cukup dingin sehingga panasnya Jakarta tidak perlu kami rasakan.

Sepanjang kemacetan ini pikiranku selalu kembali pada peristiwa yang barusan aku alami bersama Pak Parno tadi. Lelaki tua ini memang hebat. Dia sangat kalem dan tangguh. Dia sangat sabar dan berpengalaman menguasai perempuan. Dialah yang terbukti telah memberikan padaku kepuasan seksual. Paduan kesabaran, tampilan ototnya yang kekar, postur tegap tubuhnya, serta kontol gedenya yang indah membuat aku langsung takluk secara iklas padanya. Aku telah serahkan seluruh tubuhku padanya. Dan Pak Parno tidak sekedar menerimanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi dia sekaligus membuktikan bahwa kenikmatan hubungan seksual yang sebenar-benarnya adalah apabila pihak lelaki dan pihak perempuannya bisa mendapatkan kepuasannya secara adil dan setara. Dan aku merasakannya .. tapi .. Benar adilkah ..?

Ah .. pertanyaan itu tiba-tiba mengganguku. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa dari hubungan badan tadi, aku berhasil merasakan orgasmeku hingga 3 kali. Sementara Pak Parno hanya mengeluarkan spermanya sekali saja. Artinya dia meraih kepuasan dalam hubungan seksual dengan aku tadi hanya sekali. Ahh ..adakah hal ini menjadi masalah untuk hubunganku dengan Pak Parno selanjutnya ..? Kenapa dia banyak diam sejak keluar dari motel tadi ..?
Aku menjadi gelisah, aku kasihan pada Pak Parno apabila dia masih menyimpan dorongan birahinya. Apabila belum seluruh cairan birahinya secara tuntas tertumpah. Bukankah hal demikian itu bagi lelaki akan menimbulkan semacam kegelisahan ..? Apa yang harus aku lakukan ..??

'Pak, tadi puas nggak Pak..?', aku memberanikan diri untuk bertanya.
'Bukan main Dik Mar, aku sungguh sangat puas', begitu jawabnya.
Suatu jawaban yang sangat santun yang justru semakin besar kekhawatiranku. Jawaban macam itu pasti akan keluar dari setiap 'gentlemen'. Aku harus amati dari sudut yang lain. Kulihat dibawah kemudi Kijangnya. Nampak celananya masih menggunung. Artinya kontolnya masih ngaceng. Aku nekat. Kuraba saja tonjolan celananya itu.
'Ininya koq masih ngaceng Pak? Masih pengin yaa?? Tadi masih mau lagi yaa??', sambil tanganku terus memijiti gundukkan itu. Dan terbukti semakin membesar dan mengeras.
Pak Parno diam saja. Aku tahu pasti dia menikmati pijatanku ini. Aku teruskan. Tanganku meremasi, mengurut-urut.
'Hheehh ..dik Marr .. enak sekali tangan Dik Marr yaa..'.

Biarlah, biarlah aku akan selalu memberikan yang aku bisa. Dengan berbagai style, tanganku terus meremasi dan mijit gundukkan kontol itu. Tetapi lama kelamaan justru tanganku sendiri makin menikmati kenikmatan memijit-mijit itu. Dan semakin lama justru aku yang nyata semakin kelimpungan. Aku kenang kembali kontol gede ini yang 40 menit yang lalu masih menyesaki kemaluanku. Yang tanpa meninggalkan celah sedikitpun memenuhi rongga vaginaku. Dan ujungnya ini yang untuk pertama kalinya bisa mentok ke dinding rahimku.. ah nikmatnya ..

'Pakee.. Aku pengin lagii ..', aku berbisik dengan setengah merintih.
'Kita cari waktu lagi Dik Mar .., gampang.., Dik Mar khan bisa bilang pada Mas Adit, mau ke Carrefour atau ke Mangga Dua cari barang apa.. gitu'.
'Iyaa siihh.. Boleh dibuka ya Pak. Aku pengin lihat lagi nih jagoan Pak ..', sambil aku melempar senyum serta melirikkan mataku ke Pak Parno melihat reaksinya.
'Boleehh ..', dia jawab tanpa melihat ke aku, karena keramaian lalu lintas yang mengharuskan Pak Parno berkonsentrasi.

Tanganku sigap. Pertama-tama kukendorkan dulu ikat pinggangnya. Kemudian kubuka kancing utamanya. Selanjutnya kuraih resluitingnya hingga nampak celana dalamya yang kebiruan. Di belakang celana dalam itu membayang alur daging sebesar pisang tanduk yang mengarah ke kanan. Oouu.. ini kali yang namanya stir kanan.. Kalau stir kiri, mengarahnya kekiri tentunya.

Dengan tidak sabar kubetot kontol Pak Parno dari sarangnya. Melalui pinggiran kanan celana dalamnya, kontol Pak Parno mencuat keluar. Gede, panjang, kepalanya yang bulat berkilatan. Dan pada ujung kepala itu ada secercah titik bening. Oooww ..baru sekarang aku berkesempatan memperhatikan kontol ini dari jarak yang sangat dekat, bahkan dalam genggamanku.

Rupanya precum Pak Parno telah terbit di ujung kepalanya. Precum itu muncul dari lubang kencingnya. Uuuhh .. indahnyaa .. bisakah aku nggak bisa menahan diri ..??

'Pak Parno pengin khan..??', kembali aku berbisik.
'Heehh .. Dik Mar mau bantu Pak Parno nih ..??', jawaban yang disertai pertanyaan balik.
'Gimana bantunya Pak.., berhenti duluu .. Cari tempat lagii .. Hayoo..', jawabanku enteng.
'Nggak begitu Dik Mar, kita nggak mungkin berhenti lagi. Ya ini khan macet nih jalanan. Maksudku, apakah .. eehh .. Dik Mar marah nggak kalau aku bilang ini ..??'.
'Nggak pa pa Pak, saya rela koq, dan saya pengin bantu bener-bener, Pak'.
'Dik Mar pernah mengisep punya Mas Adit khan?'.
'Ooo.. Kk.. kaalau ii.. ttuu terus terang aku belum pernah Pak.., kalau lihat punya Mas Adit rasanya aku geli gituu.. jijikk gituu ..'.
'Kalau lihat punya saya inii.?', dia terus mendesak dengan pertanyaan yang terus terang aku nggak bisa menjawab secara cepat.

Masalahnya aku dihadapkan pada sesuatu hal yang bener-bener belum pernah aku lakukan, bahkan pun dalam khayalan seksualku. Pasti yang Pak Parno inginkan adalah aku mau mengisep-isep kontolnya itu, yaa khan? Tapi aku juga berpikir cepat .. Tadi sewaktu di motel, Pak Parno membenamkan wajahnya ke selangkanganku tanpa risah-risih. Kemudian dijilatinya vaginaku, kelentitku, lubang kemaluanku. Dia juga menelan cairan-cairan birahiku. Aku jadi ingat prinsip adil dan setara yang aku sebutkan di atas tadi.

Mestinya aku yaa.. nggak usah ragu-ragu untuk berlaku mengimbangi apa yang telah dilakukan Pak Parno padanya. Dia telah menjilati, menyedoti kemaluanku. Dan aku sangat menikmati jilatan dahsyatnya. Dan sekarang Pak Parno seakan menguji padaku. Bisakah aku bertindak adil dan setara juga pada dia. Aku membayangkan kontol itu di mulutku ..

'Dik Mar, sperma itu sehat lhoo, bersih, steril.. dan banyak vitaminnya. Itu dokter ahli lho yang ngomong. Cobalah, kontol Pak Parno ini pasti sedap kalau Dik Mar mengulumnya.. ', aku sepertinya mendengar sebuah permohonan.

Aku kasihan juga pada Pak Parno. Mungkin dia sudah mengharapkan sejak awal jalan bersama dari rumah tadi. Mungkin bahkan dia sudah mengharapkan jauh beberapa waktu yang lalu. Dan kini saat aku sudah berada disampingnya harapan itu nggak terkabul. Ah, aku jadi iba .. Kulihat kembali kontol indah Pak Parno. Yaa.. benar-benar indah..apa artinya indah itu .. Kalau memang itu indah ..sudah semestinya kalau aku menyukainya ..dan kalau aku menyukainya .. mestinya aku nggak jijik ataupun geli .. Dan lihat precum itu.. Juga indah khan, bening, murni, dan mungkin juga wangi ..dan asin .. Dan.. Banyak lho yang sangat menyukainya .., menjilatinya, meminumnya ..

Tahu-tahu aku sudah merunduk, mendekatkan wajahku, mendekatkan bibirku ke kontol Pak Parno yang indah itu. Dan tanpa banyak tanya lagi aku telah mengambil keputusan .. Ah,.. ujung lidahku kini menyentuh, menjilat dan merasakan lendir lembut dan bening milik Pak Parno. Yaahh .. asinnya yang begitu lembutt..
'Dik Maarr .. Uhh enakk bangett sihh ..', kepalaku dielus-elusnya. Dan dia sibakkan rambutku agar tidak menggangu keasyikanku. Dan selanjutnya dengan penuh semangat aku mengkulum kontol Pak Parno di mobil yang sempit itu. Kemudian Pak Parno sedikit memundurkan tempat duduknya.
'Dik Marr .. Terus Dik Marr .. Kamu pinter banget siihh .. uuhh Dik Marr..', aku terus memompa dengan lembut. Banyak kali aku mengeluarkan kepala itu dari mulutku.. Aku menjilati tepi-tepinya .. Pada pangkal kepala ada alur semacam cincin atau bingkai yang mengelilingi kepala itu. Dan sobekan lubang kencingnya itu .. kujilati habis-habisan ..
'Marr.. enak bangett .. akau mau keluar nihh Dik Marr .. Aku mau keluar nihh ..', aku tidak menghiraukan kata-katanya, mungkin maksudnya peringatan untukku, jangan sampai air maninya tumpah di mulutku. Dia masih khawatir bahwa mungkin aku belum bisa menerimanya.

Tetapi apa yang terjadi padaku kini sudah langsung berbalik 180 derajat. Rasanya justru aku kini yang merindukannya. Dan aku memang merindukannya. Aku pengin banget merasakan sperma seorang lelaki langsung tumpah dari kontolnya langsung ke mulutku. Dan lelaki itu adalah Pak Parno, yang bukan suamiku sendiri. Aku terus menjilati, menyedoti. Batangnya, pangkalnya, pelernya, sejauh bisa bibir atau lidahku meraihnya, disebabkan tempat yang sempit ini, semua bagian kontolnya itu aku rambah dengan mulutku.

Dan pengalaman pertama itu akhirnya hadir. Saat mulutku mengkulum batangan gede panjang milik Pak Parno itu, aku rasakan kembali ada kedutan besar dan kuat. Kedutan itu kemudian disusul dengan kedutan-kedutan berikutnya. Kalau yang aku rasakan di motel tadi kedutan-kedutan kontol Pak Parno dalam lubang vaginaku, sekarang hal itu aku rasakan di rongga mulutku. Kontol Pak Parno memuntahkan laharnya. Cairan, atau tepatnya lendir yang hangat panas nyemprot langit-langit rongga mulutku. Sperma Pak Parno tumpah memenuhi mulutku. Entah berapa kali kedutan tadi. Tetapi sperma dalam mulutku ini nggak sempat aku telan seluruhnya karena saking banyaknya.

Sperma Pak Parno berleleran di pipiku, daguku, bahkan juga ke kening dan rambut panjangku. Kontol Pak Parno masih berkedut-kedut saat kukeluarkan dari mulutku. Dan aku raih kembali untuk kuurut-urut agar semua sperma yang tersisa bisa terkuras keluar. Mulutku langsung menyedotinya. Sekali lagi, pengalaman pertama nyeleweng ini benar-benar memberiku daftar panjang hal-hal baru yang sangat sensasional bagiku. Dan aku makin merasa pasti, hal-hal itu nggak mungkin aku dapatkan dari Mas Adit, suamiku tercinta.

Sesuai rencana, aku diturunkan di Pasar Senen oleh Pak Parno. Sungguh aku keberatan untuk perpisahan ini. Kugenggam tangannya erat-erat, untuk menunjukkan betapa besarnya arti Pak Parno bagiku. Aku berjalan dengan gontai saat menuju toko kertas dekorasi itu.

Saat aku turun dari taksi sesampai di rumah, Mbak Surti nampak cemberut. Aku biarkan. Pada temen yang lain aku bilang banyak bahan yang aku cari stoknya habis sehingga aku menunggu cukup lama. Di ujung jalan sana kulihat mobil Kijang Pak Parno. Mungkin sudah lama lebih dahulu nyampai di kompleks. Orang-orang pemasang tenda dan pengatur sound system sudah mulai melaksanakan tugasnya. 2 jam lagi acara akan dimulai.

Aku pamit pulang sebentar, untuk menengok rumah. Mas Adit belum pulang. Aku mandi lagi sambil mengenang peristiwa indah yang kualami sekitar 2,5 jam yang lalu. Saat sabunku menyentuh kemaluanku, masih tersisa rasa pedih pada bibirnya. Mungkin jembut Pak Parno tersangkut saat kontolnya keluar masuk menembus memekku. Dan itu biasanya menimbulkan luka kecil yang terasa pedih pada bibir vaginaku saat terkena sabun seperti ini.

KUSELINGKUHI ISTRI TETANGGAKU

Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga orang. Sebagai anak muda yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda pada malam minggu.

Pada suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi sampai pukul 23.00 dua orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau datang apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela, sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak ada masalah.

Karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mengontrol kampung. Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu sampai di samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi. Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu suara orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya. Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar. "Ssshh... hhemm... uughh... ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina Bu Tadi. Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan bahenol itu.

"Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh.... ssshh.." terdengar suara Pak Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.

Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati kegiatan mereka di sore hari. Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur. Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan khususnya suara Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.

Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi. Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Tadi sudah beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga itu.

Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu Tadi.
"Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa", kataku hati-hati.
"Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan", jawab Bu Tadi.
"Tapi anu tho bu... anuu.. bikinnya khan jalan terus." godaku.
"Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi" jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
"Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?" lanjutku.
"Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kawin. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo", kata Bu Tadi.
"Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo", kataku menggodanya.
"Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi", katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.
"Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa", ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
"Tapi nanti kemaleman lo Dik", jawabnya.
"Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu", aku sedikit memaksa.
"Yaa gimana yaa... ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho." Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.

Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
"Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh", kubuat Bu Tadi penasaran.
"Emangnya kenapa siih." Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
"Tapi janji nggak marah lho." kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
"Anu bu... tapi janji tidak marah lho yaa."
"Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali", kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.

Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah terlanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
"Awaas! hati-hati!" Bu Tadi menjerit kaget.
"Aduh nyalib kok nekad amat siih", gerutuku.
"Makanya kalau nyetir jangan macam-macam", kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang.
Di rumah aku mencoba untuk tidur. Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Tadi yang sekarang sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, "Buu Tadi, aku Budi", kataku lirih. Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Tadi bangun dan takut. Bisa juga mengira aku maling. "Aku Budi", kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. "Lewat belakang!" kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.

"Aku nggak bisa tidur", bisikku.
"Aku juga", katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. "Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen", bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur. Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung. Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya. Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku.

Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin dalam, semakin... dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. "Aduuh, Dik Budi, Dik Budii... enaak sekali, yang cepaat.. teruus", bisik Bu Tadi sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi kecepak-kecepok, menambah semangatku. "Dik Budiii aku mau muncaak... muncaak, teruus... teruus", Aku juga sudah mau keluar. Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali.

Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
"Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak", katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku kawin dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.

Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku. Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.

Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah tangga. Namun dalam perkawinanku yang sudah berjalan dua tahun lebih, kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat. Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah naik. Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah.

Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena aku selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.

Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di sumur belakang rumahnya. Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan aku dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang sederhana ini. Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari samping rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Tadi sudah bosan denganku. Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.

Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia berkata, "Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?"
"Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?" jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
"Nanti ke rumah yaa!" katanya dengan tersenyum malu-malu.
"Emangnya Pak Tadi nggak ada?" kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.

Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku hanya memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan panjang biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali. Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.

"Paa, sudah lama kita nggak begini", katanya lirih. Bu Tadi sekarang kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.
"Pak Tadi sedang kemana sih maa", tanyaku.
"Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore", katanya sambil terus mendekapku.
"Maa, aku mau ngomong nih", kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
"Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam", kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
"Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus", katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
"Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa", kataku.
"Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil", katanya menghiburku.
"Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa..."
"Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih", katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
"Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih", kataku menggoda.
"Iiih, dasar", katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
"Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!" katanya manja.

Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan. Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu, buah dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.
"Uugh jangan nekad tho. Berat nih", keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
"Teruuus, teruus paa.. sshh... ssh..." bisik Bu Tadi
"Maa, aku juga sudah mau... keluaarr",
"Yang dalam paa... yang dalamm. Keluarin di dalaam paa... paa... Adduuh paa nikmat banget paa", jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat. Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat. Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, "Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa. Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini." Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.

Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini? Salam.

TAMAT

di 04:01 0 komentar

Arwah Binal

Aku dan istriku yang baru menikah selama setahun, akhirnya bisa membeli rumah sendiri, setelah selama beberapa bulan ikut dengan mertua. Meski rumah itu tidak begitu besar, namun rasanya cukup membahagiakan hatiku. Bagaimana tidak? Suami mana yang tak merasa bangga bisa membeli rumah sendiri, ketimbang nebeng di rumah mertua.
Rumah yang kubeli, keberadaannya agak jauh dari rumah penduduk lain. Entah mengapa, sepertinya para penduduk di sekitar rumah yang kubeli itu, enggan berdekatan dengannya. Bahkan sewaktu aku hendak membeli rumah itu, ada penduduk yang memberitahuku kalau rumah itu angker. Katanya ada penghuninya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku menganggapnya sebagai cerita bohong belaka. Lagipula, sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran, kenapa harus takut pada hal-hal mistik seperti itu? Ketimbang tinggal bersama mertua, bukankah lebih baik punya rumah sendiri?
Semula, saat pertama istriku melihat rumah itu, dia pun mengatakan kalau tempat itu seram. Istriku yang masih muda itu sebelumnya memang selalu tinggal bersama keluarga besar orang tuanya di sebuah rumah besar di lingkungan yang ramai di Sukabumi. Hani baru berusia 20 tahun. Lebih muda 6 tahun dariku. Sifatnya begitu polos dan jujur. Tubuhnya langsing padat dengan kulit yang putih bersih. Wajahnya cantik seperti aktris Dina Lorenza dengan rambut panjang terurai, ia adalah seorang istri yang ideal bagiku.
Dengan keyakinan yang kuberikan, akhirnya istriku pun bisa menerimanya. Setelah dibersihkan dan dirapikan, kami pun pindah.
Hari pertama kami menempatinya, tak ada hal-hal aneh. Itu sebabnya keesokan harinya kukatakan pada istriku bahwa apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai rumah itu tak benar. Istriku pun semakin bertambah yakin dan percaya dengan perkataanku. Begitu juga dengan hari selanjutnya sampai enam hari kami menempati rumah itu, tak ada hal-hal ganjil yang kami alami. Semua itu semakin membuat kami yakin, kalau cerita rumah yang kami tempati ada hantunya hanyalah bohong belaka.
Hingga sampailah pada hari yang ketujuh….
Hari itu hari Kamis malam Jumat. Sejak siang hujan turun dengan deras diikuti oleh angin kencang. Aku dan istriku sedang berada di ruang tengah menyaksikan acara televisi, ketika dari luar terdengar sesuatu berderak keras dan kemudian tumbang dengan menimbulkan suara yang keras dan sangat mengejutkan. Sampai-sampai istriku dibuat menjerit dan memelukku kuat.
Kraaaa….k!! Buuummm…..!!!
“Maass…!”
“Sepertinya ada pohon yang tumbang,” gumamku sambil memeluk tubuh istriku yang menggigil dengan wajah pucat ketakutan. “Sebaiknya kulihat…”
“Aku takut, Mas,” keluh istriku.
“Apa yang mesti kautakutkan? Tak ada apa-apa. Sebaiknya kau di dalam saja,” saranku seraya melepaskan pelukan istriku kemudian melangkah ke teras rumah. Saat itu kulihat pohon nangka yang ada di halaman rumahku tumbang sampai ke akar-akarnya.
Rupanya suara tumbangnya pohon nangka itu juga didengar oleh warga sekitar sehingga mereka pun berdatangan. Kami dibuat terbelalak ketika melihat tanah lubang bekas akar pohon nangka itu. Di lubang tanah bekas akar pohon nangka itu terdapat tulang belulang manusia. Entah tulang siapa.
Karena ada kejadian aneh maka Pak Ramon pun menghubungi polisi. Dokter forensik dari labkrim langsung melakukan pemeriksaan terhadap kerangka manusia itu.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata istriku keluar dan melihat kerangka manusia itu. Saat kerangka itu diangkat, tiba-tiba istriku mengeluh sakit kepala kemudian jatuh pingsan. Hal itu membuatku jadi panik. Segera kubopong tubuh istriku masuk ke dalam kamar meninggalkan masyarakat dan para petugas yang masih sibuk mengurusi tulang belulang itu.
Kejadian malam itu segera berlalu. Aku dan istriku tidak berminat untuk membahasnya lagi. Semuanya tampak sudah berjalan normal kembali sampai sekitar seminggu kemudian….. Malam itu aku bermimpi aneh.
Dalam mimpiku, aku melihat istriku tengah bersetubuh dengan seorang pemuda. Melihat hal itu, tubuhku seketika menggigil karena emosi. Ingin rasanya aku melabrak keduanya, namun entah mengapa seketika aku tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya aku hanya bisa melihat bagaimana istriku merintih-rintih dicumbu dan disetubuhi oleh lelaki lain, yang samar-samar bisa kulihat ternyata adalah Ajat, muridku sendiri di SMU tempatku mengajar.
Ajat adalah salah seorang siswa teladan di SMU itu. Selalu menjadi bintang kelas. Dengan tubuhnya yang besar dan sehat, ia selalu aktif di kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, paskibra maupun organisasi pencinta alam. Setahuku ia adalah seorang siswa yang sopan dan baik perilakunya.
Namun… kini aku melihatnya dalam keadaan polos sama sekali tengah asyik mencumbu dan menyetubuhi istriku yang juga tak mengenakan selembar benang pun untuk menutupi tubuhnya yang putih dan padat berisi. Tubuh indah yang selama ini hanya aku sendiri yang bisa melihat dan menjamahnya.
Entah berapa lama mereka asyik berkasih-kasihan sementara aku seperti tak berdaya hanya bisa berdiri mematung memandangi aksi mereka. Rasanya seperti lamaaa… sekali.
Akhirnya, tampak Ajat mencapai puncak kepuasannya. Gerakannya yang semula seolah tak pernah diselingi istirahat mendadak berhenti. Wajahnya tampak tegang. Ia sama sekali tak berusaha mengangkat kemaluannya dari dalam tubuh istriku! Anak jahanam itu benar-benar berusaha mengosongkan air maninya yang telah siap untuk meledak sejak beberapa puluh menit yang lalu itu ke dalam rahim istriku yang masih sangat subur. Yang lebih mengejutkanku ternyata istriku sendiri tampak berusaha menahan anak muda itu keluar dari dalam tubuhnya. Dicengkeramnya kuat-kuat Ajat yang sedang menindih tubuhnya di bagian pantatnya.
Ajat pun tampak lemas setelah memuaskan nafsunya kepada istriku yang cantik. Tiba-tiba saat itulah kedua mata istriku berubah menjadi merah membara laksana api. Mulutnya menyeringai, menunjukkan sepasang gigi taring yang runcing.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tangan istriku sudah memegang sebilah pisau. Kemudian dengan buas istriku menghunjamkan pisau itu ke dada pemuda yang telah menyetubuhinya itu.
“Rasakan pembalasanku…. Hiih….!!!”
Jraab!!
“Aaakh…..!!” Ajat menjerit keras. Ia segera melepaskan tubuh istriku. Darah seketika menyembur dari dadanya. Sesaat tubuh Ajat menggelepar-gelepar, kemudian terkulai mati.
Aku tersentak bangun dari tidurku. Tiba-tiba aku tak menemukan istriku. Entah ke mana perginya. Khawatir terjadi sesuatu pada istriku, aku bergegas bangun dari tempat tidur. Sambil memanggil-manggil, aku berusaha mencari istriku.
“Han….. Hanii…. Di mana kau?” seruku memanggil sambil terus melangkah keluar kamar. Di ruang tamu, aku tak menemukan istriku. Dengan perasaan semakin cemas, aku lari ke kamar sebelah. Kubuka satu-persatu pintu kamar yang ada namun tetap juga aku tak menemukan istriku. Segera aku lari ke arah dapur. Saat itu juga, kulihat istriku sepertinya baru masuk.
“Hani… Dari mana kamu, sayang?” tanyaku seraya mendekat. Kulihat tubuh istriku menggigil kedinginan. Seluruh pakaiannya tampak basah kuyup. “Kau baru keluar…?”
Hani mengangguk dengan tatapan mata sayu.
“Untuk apa?”
“Entahlah, aku juga tak tahu, Mas. Tahu-tahu aku sudah di depan pintu dapur. Karena kudengar kau memanggil-manggil namaku, aku pun masuk,” tuturnya seperti kebingungan.
“Sudahlah, pakaianmu basah. Ayo cepat ganti, nanti masuk angin,” kataku seraya membimbingnya dengan penuh kasih. Sesampainya di kamar, kulepas seluruh pakaiannya. Kemudian kuambilkan gaun yang kering dan membantu mengenakannya. Sedangkan gaun yang basah segera kurendam di dalam air di kamar mandi. “Masih malam. Ayo tidur….”
Hani pun menurut. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Namun begitu wajahnya tampak seperti kebingungan.
“Apa yang kaupikirkan?” tanyaku.
“Tadi saat aku tidur, aku mendengar ada suara seorang lelaki memanggil namaku, Mas. Tiba-tiba aku…. aku tak ingat apa-apa lagi. Dan… dan tahu-tahu aku sudah berada di luar, Mas…” tuturnya dengan wajah masih menunjukkan kebingungan.
“Sudahlah, semua hanya mimpi,” kataku berusaha menghibur hatinya. Untuk memberikan kenyamanan, aku pun memeluknya. Perlahan kucium keningnya, tetapi Hani menolakku secara halus.
“Aku capai, Mas,” katanya dengan mata yang kuyu dan memelas. Lalu ia membalikkan tubuhnya membelakangiku dan segera tertidur pulas. Kututupi tubuhnya dengan selimut yang tebal, lalu aku pun menyusulnya tidur.
Pagi itu aku bangun kesiangan. Kalau saja tak ada kegemparan, mungkin aku tak akan bangun saat itu.
“Ada apa, sayang?” tanyaku pada istriku saat kudengar suara orang ribut.
“Entahlah… Katanya telah ditemukan mayat”
“Mayat?” Bergegas aku bangun. Tanpa cuci muka dulu, aku langsung melangkah keluar rumah untuk melihat apa yang telah menggemparkan para warga. Ketika bertemu dengan Pak Ramon aku pun langsung bertanya, “Ada apa, Pak Ramon?”
“Ajat, Pak Guru.”
“Ajat….?! Kenapa dengan Ajat?” tanyaku dengan perasaan berdebar tak menentu.
“Ajat diketemukan meninggal.”
“Apa..?! Meninggal?”
Penasaran ingin tahu yang sebenarnya, aku pun langsung menuju rumah orang tua Ajat untuk melihat sekaligus melayat. Terpaku aku dengan mata membelalak dan mulut melongo ketika melihat bagaimana keadaan mayat Ajat. Ajat ditemukan mati dalam keadaan telanjang bulat. Sepertinya sebelum meninggal, dia terlebih dahulu melakukan hubungan badan dengan seorang wanita. Yang mengerikan, di ulu hati Ajat terdapat bekas hunjaman pisau.
Kenapa? Kenapa kejadian yang menimpa Ajat persis seperti mimpi yang kualami, pikirku tak mengerti. Ya, sebelum aku menemukan istriku di pintu dapur, aku bermimpi istriku bersetubuh dengan Ajat, salah seorang muridku. Tiba-tiba, setelah Ajat mencapai puncak kenikmatan, wajah istriku berubah menjadi buas dan menyeramkan. Kemudian… istriku menghunjamkan pisau ke ulu hatinya. Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mimpiku menjadi kenyataan? Benarkah istriku yang melakukannya? Tidak! Tak mungkin istriku yang melakukannya. Istriku sangat lemah. Ia tak akan bisa berbuat sekejam itu.
Dengan langkah gontai, aku pulang ke rumah. Kutemui istriku tengah duduk termenung dengan wajah tak berdosa. Semua itu, semakin membuatku yakin, bukan istriku yang melakukannya. Lalu… siapa yang telah membunuh Ajat? Dan ke mana istriku semalam keluar? Aku benar-benar dibuat tak mengerti.
“Ada apa, Mas?” tanyanya.
“Ajat, Han.”
“Kenapa dengan Ajat?”
“Dia diketemukan mati dengan keadaan mengenaskan. Sepertinya sebelum dibunuh, terlebih dulu ia berhubungan badan dengan seorang wanita yang mungkin saja pembunuhnya,” desahku lirih sambil memandang ke wajahnya, ingin tahu bagaimana perubahan wajahnya setelah mengetahui berita itu.
“Ya, Tuhan. Bagaimana mungkin, Mas? Ajat anak baik dan selama ini kunilai merupakan muridmu yang paling cerdas dan patuh. Rasanya tak mungkin ia berbuat sejauh itu,” tuturnya masih dengan ekspresi wajah tak berdosa. Semua itu semakin membuatku bertambah tak mengerti.
“Ya, mungkin sudah takdir,” desahku.
Malam harinya, kembali aku bermimpi. Saat itu, aku seperti baru pulang dari bepergian. Karena kulihat rumah sepi, maka aku berusaha mencari istriku. Setelah kucari ke sana ke mari, entah dari mana petunjuk yang kudapat, langkah kakiku tiba-tiba terayun ke arah sebuah gudang tua. Dan memang, di sana akhirnya kutemukan istriku. Namun mataku kembali dibuat terbelalak, melihat apa yang sedang dilakukan istriku. Saat itu ia sedang bersama Pak Munandar, Ketua RT tempat kami tinggal.
Saat itu aku melihat pria yang bertubuh gemuk dan berkepala nyaris gundul dengan kumis tipis di atas bibirnya itu dalam keadaan polos, dan tengah menggeluti istriku yang juga dalam keadaan polos sama sekali. Kontras sekali perbedaan mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Pak Munandar yang gemuk, berkulit gelap dan berwajah tak menarik dengan istriku yang ramping, berkulit putih bersih dan berwajah cantik.
Sebagaimana mimpiku kemarin, aku pun lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhku terasa kaku tak bisa digerakkan. Padahal aku ingin sekali melabrak keduanya.
Pak Munandar memang tampak kaget ketika melihatku memergoki mereka berdua dan berusaha melepaskan diri dari pelukan istriku. Lelaki itu sebetulnya kukenal sebagai seorang yang baik dan suka menolong. Ketika kami pindah rumah pun ia banyak sekali menolong kami tanpa pamrih. Namun dengan bibir tersenyum menggoda, istriku berkata, “Jangan takut, sayang…. Dia tak akan berbuat apa-apa sebab dia lelaki lemah yang tak mampu memberikan kepuasan. Teruskan sayang….. Aku suka dengan kejantananmu….”
Darahku mendidih mendengar ucapan istriku yang bibirnya tersenyum penuh ejekan ke arahku, tapi aku benar-benar tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdiri mematung sambil menyaksikan bagaimana istriku terus bercumbu dengan Pak Munandar.
Keduanya seperti sudah kerasukan iblis. Godaan istriku yang cantik dan bertubuh indah telah membuat Pak Munandar seperti lupa segalanya. Ia kembali menyetubuhi istriku seolah tak peduli ia melakukannya di hadapan orang lain yang terus memandangi mereka. Di hadapan suami dari wanita yang sedang disetubuhinya!
Telingaku bagai hendak pecah setiap kali mendengar rintihan dan lenguhan kenikmatan yang keluar dari bibir istriku dan bibir Pak Munandar.
Kali ini pun aku dipaksa untuk melihat bagaimana Pak Munandar mencapai orgasme di atas tubuh istriku yang sedang disetubuhinya. Seperti halnya dengan Ajat, istriku tampaknya ingin sekali membiarkan Pak Munandar mengisikan benih-benih hasil percintaan mereka ke dalam rahimnya. Jari-jemarinya yang mungil mencengkeram kuat-kuat pantat lelaki itu yang besar untuk menolong alat kelamin lelaki itu tetap bersatu dengan alat kelaminnya sendiri sementara Pak Munandar menyemprotkan setiap tetes air maninya ke dalam rahim istriku… Tentu saja aku sangat cemburu melihatnya. Kepalaku terasa akan meledak saat itu.
Ketika Pak Munandar tampaknya telah selesai dan keletihan yang luar biasa tergambar di wajahnya, tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah istriku. Wajahnya yang semula cantik, berubah menjadi menyeramkan dengan mata merah membara. Dari mulutnya keluar taring runcing. Lalu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tangan istriku telah tergenggam sebilah pisau tajam. Sedetik kemudian…..
“Kau telah mendapat kepuasan dariku, Munandar, maka kini saatnya aku harus membunuhmu….!” Bersamaan dengan itu, istriku menghunjamkan pisau stainless itu ke ulu hati Pak Munandar.
Jraaab…
“Wuaaaa……!!!!” Pak Munandar menjerit sekeras-kerasnya. Tubuhnya tertarik keluar dari tubuh istriku dengan sentakan yang tiba-tiba. Ia pun sekarat dengan ulu hati berlubang dan menyemburkan darah, lalu terkulai di samping tubuh istriku dengan nyawa yang sudah melayang.
Istriku bangkit dengan sikap yang tenang. Ketika ia berdiri, aku bisa melihat dari dalam alat kelaminnya keluar cairan sperma Pak Munandar yang pekat. Sisa-sisa benih cinta mereka berdua yang telah menyelesaikan tugasnya untuk membuahi sel-sel telur istriku yang subur itu mengalir dengan cukup deras di kedua paha bagian dalam istriku. Wajahnya tak lagi menyeramkan, tapi pisau yang berlumuran darah masih berada di genggamannya. Ia berbalik ke arahku dan memandangku dengan senyum penuh ejekan.
Lagi-lagi seperti kemarin malam, aku tersentak bangun. Segera aku keluar mencari istriku yang tidak ada di sampingku entah ke mana. Aku yang tadi bermimpi istriku berada di gudang tua segera menuju pintu depan untuk keluar dan pergi ke gudang itu. Namun baru saja kubuka pintu, kulihat istriku sudah berada di depan pintu dengan wajah tampak pucat dan mata terpejam seperti tidur.
“Hani…!”
Hani membuka matanya.
“Mas, bagaimana aku ada di sini?” tanyanya heran. “Bukankah tadi kita sedang tidur?”
Keningku mengerut turut heran. Ya, tadi memang kami tidur bersama dan malah berpelukan. Tetapi, aku bermimpi seram lagi dan sebagaimana kejadian kemarin malam, lagi-lagi istriku seperti kebingungan sendiri seakan tak menyadari apa yang telah dilakukannya.
Melihat kepucatan wajah istriku, aku jadi tak tega ingin bertanya. Segera kubimbing dia masuk. Kemudian sebagaimana kemarin, kugantikan gaunnya yang kotor dan langsung kurendam di dalam air.
Keesokan harinya, kejadian seperti kemarin kembali terulang. Mayat Pak Munandar diketemukan di dalam gudang tua dalam keadaan mengenaskan. Sebagaimana mayat Ajat, mayat Pak Munandar juga ditemukan telanjang bulat. Sepertinya sebelum dibunuh, ia terlebih dahulu bersetubuh dengan seorang wanita yang diduga sebagai pembunuhnya.
Kejadian demi kejadian aneh yang menimpa kehidupan rumah tanggaku membuatku merasa bingung. Di satu sisi, aku merasa kalau korban-korban itu yang membunuhnya adalah istriku. Namun di sisi lain, aku tak yakin kalau istriku yang selama ini sangat lemah adalah seorang pembunuh.
Tak tahan dengan kejadian-kejadian misterius itu, akhirnya malam itu aku berusaha untuk tidak tidur. Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi pada istriku? Namun anehnya, ketika aku tetap tidak tidur, istriku malah tidur dengan nyenyaknya.
Karena dua malam terakhir kurang tidur, lewat pukul satu dini hari aku tertidur. Kali ini mimpi itu muncul kembali. Aku melihat istriku berada di tepi sungai bersama Pak Ramon Da Costa, satpam di sekolah tempatku mengajar. Sebagaimana biasanya, istriku saat itu tampak begitu mesra merayu Pak Ramon.
“Jangan begitu, Mbak Hani. Tidak baik…. Mbak Hani kan sudah bersuami?” kata Pak Ramon berusaha menolak ajakan istriku untuk kencan.
Hani tersenyum menggoda seraya mengangkat gaunnya tinggi-tinggi sehingga mempertontonkan pahanya yang putih mulus seperti pualam. Mata Pak Ramon melotot tak berkedip, memandang nanar ke paha mulus istriku.
“Sungguh Pak Ramon tidak kepingin? Bukankah istri Pak Ramon di rumah sudah tua? Sudah tak menyenangkan lagi…? Ini kesempatan, Pak Ramon. Jangan disia-siakan…..”
Sebetulnya Pak Ramon adalah seorang lelaki yang berwibawa dan dihormati. Namun menghadapi seorang wanita muda yang cantik dan bertubuh indah seperti istriku yang menawarkan tubuhnya secara sukarela, lelaki tua veteran perang Timor Timur itu seolah lupa segala-galanya. Aku baru menyadari potensi istriku sebagai seorang wanita penggoda. Wajah yang cantik, tubuh yang indah, usia yang muda, dan rayuan yang maut. Lengkaplah sudah…. Atau apakah itu bukan istriku? Karena sepanjang aku mengenalnya, istriku memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Ia bukanlah tipe wanita nakal yang suka menggoda pria…. Ia adalah tipe wanita yang sangat setia kepada suami.
Karena terus digoda, akhirnya Pak Ramonpun luluh juga imannya. Maka saat Hani menggeser duduknya mendekati lelaki itu sambil melingkarkan kedua tangannya di lehernya, Pak Ramon sama sekali tak melarangnya lagi. Malah kemudian kedua tangannya yang keriput itu mulai beraksi merayapi sekujur tubuh istriku.
Darah cemburuku mendidih menyaksikan pemandangan itu. Ingin rasanya aku membentak agar Pak Ramon dan istriku sadar. Tapi entah kenapa, kerongkonganku bagaikan kering. Tak sepatah kata pun yang mampu keluar dari mulutku sehingga aku hanya bisa melihat adegan demi adegan yang mendebarkan itu berlangsung satu per satu. Bahkan aku hanya bisa menelan ludah saat Pak Ramon menelanjangi istriku dan keduanya kini sudah sama-sama polos…..
Dengan buas dan penuh nafsu, Pak Ramon pun mencumbu serta menggeluti tubuh istriku yang tampak menikmatinya. Aku baru mengetahui bahwa di balik penampilannya yang tenang, walaupun usianya sudah sekitar setengah abad, Pak Ramon ternyata memiliki daya tahan yang luar biasa, di samping juga pengalaman yang tinggi. Dan yang membuatku terkejut adalah ukuran alat vital Pak Ramon yang ternyata besar sekali!!
Kali ini rupanya istriku menemui tandingannya. Nafsu istriku yang luar biasa dengan mudah ditanganinya. Bahkan terkadang aku melihat justru istriku yang usianya kurang dari setengah usia Pak Ramon yang tampak agak kewalahan mengimbangi nafsu lelaki itu.
Berbagai gaya pun mereka pertontonkan. Ada banyak gaya bersetubuh yang diterapkan Pak Ramon kepada istriku, yang aku sendiri pun tak pernah melakukannya terhadap istriku itu atau bahkan tak berpikir sama sekali tentang cara itu! Aku baru tahu kalau seorang lelaki bisa menyetubuhi seorang wanita melalui berbagai lubang di tubuhnya - tak hanya melalui alat kelaminnya - setelah melihat Pak Ramon mempraktekkannya terhadap istriku. Aku pun baru tahu kalau istriku mau saja disetubuhi oleh Pak Ramon dari belakang seperti posisi hewan yang sedang kawin.
Bahkan yang paling mengejutkanku adalah ketika istriku duduk bertekuk lutut di hadapan Pak Ramon lalu membiarkan orang tua itu mempompa mulut istriku yang mungil dengan penisnya yang besar. Tanpa merasa jijik sedikit pun, Hani menjilati dan mengisapi alat vital Pak Ramon, tak ubahnya seperti seorang gundik yang tengah melayani tuannya. Seirama dengan keluar masuknya kemaluan orang tua itu di mulutnya, dari bibirnya tak henti-hentinya keluar desisan dan lenguhan kenikmatan.
Aku benar-benar seperti sedang menonton film biru. Hanya kali ini adegannya benar-benar hidup di depan mataku sendiri, dan pelakunya adalah ISTRIKU sendiri!!
Tanpa terasa menit demi menit terus berlalu. Aku sama sekali tak bisa bergerak dari tempatku berdiri. Yang bisa kulakukan hanyalah melihat adegan demi adegan yang dipertontonkan oleh Hani bersama Pak Ramon. Aku seperti seorang murid yang sedang mendapatkan pelajaran seks dari Pak Ramon, yang melakukannya dengan cara mempraktekkannya langsung terhadap istriku sendiri. Dari bibir Hani, terus keluar rintihan dan lenguhan kenikmatan, diiringi geliatan-geliatan nikmat. Aku bisa melihat paling tidak tiga kali istriku telah mencapai orgasme dengan hebatnya. Tampak benar bahwa ia sangat menikmati persetubuhannya dengan Pak Ramon…
Akan tetapi, biar bagaimanapun hebatnya kemampuan seksual seorang pria, akhirnya pasti akan lemas juga ketika telah mencapai puncaknya. Begitu pula dengan Pak Ramon. Tampak jelas kelelahan yang luar biasa di wajahnya. Mungkin ia terlalu memaksakan nafsunya tanpa mengingat bahwa usianya telah beranjak tua. Maka setelah mendepositkan seluruh benih sperma hasil kerja kerasnya selama satu jam ke dalam rahim istriku, lelaki itu benar-benar kehilangan tenaganya.
Dan…. pada saat itulah, untuk kesekian kalinya tiba-tiba wajah istriku berubah menjadi menyeramkan. Entah dari mana datangnya, di tangan istriku tergenggam sebilah pisau tajam lalu…..
Jraab…
“Aaakh…..!!” Pak Ramon menjerit ketika pisau yang tajam itu bersarang di ulu hatinya. Tubuhnya tercerabut dari tubuh istriku sambil meregang-regang untuk kemudian ambruk tanpa nyawa lagi.
Lagi-lagi aku tersentak bangun. Cepat aku keluar mencari istriku. Sebagaimana yang kulihat dalam mimpiku, aku langsung menuju ke sungai. Sesampainya di sana, seketika aku terperangah dengan apa yang kusaksikan. Ternyata mimpiku memang benar-benar nyata! Tampak istriku dengan buasnya menghunjamkan pisaunya berkali-kali ke tubuh Pak Ramon yang malang…. Setelah selesai, istriku yang merasa ada orang yang memperhatikannya segera membalikkan tubuhnya. Matanya tampak buas seperti mata setan, memandang tajam ke wajahku.
“Hani…..”
“Hua ha ha ha….. Kau pun akan mendapatkan giliran!” dengusnya dengan mata terus memandang buas ke arahku. Dengan tangan masih memegang pisau yang berlumuran darah, Hani bergerak ke arahku. Dia bermaksud membunuhku!
“Hani…. Sadar, sayang. Aku Sumanto…. suamimu….!” seruku berusaha menyadarkan Hani. Tapi rupanya Hani yang sudah dikuasai oleh makhluk halus jahat bagai tak mendengar. Dengan pisau terhunus, ia berusaha membunuhku. Tenaganya sungguh sangat luar biasa. Aku sendiri tak sanggup untuk membendung serangannya yang terus datang bertubi-tubi sehingga akhirnya terjatuh lemas. Aku hanya bisa terduduk pasrah, siap menerima kematian yang sebentar lagi akan datang menjemputku.
“Hua ha ha ha…. Kini saatnya pembalasanku tiba, Darga! Dulu ketika kau tanam aku hidup-hidup, aku pernah bersumpah. Jika aku hamil nanti, maka pembalasan akan tiba! Kinilah saatnya…. karena aku telah memasuki raga wanita yang subur ini dan aku telah membuatnya hamil!” dengus suara wanita lain yang keluar dari mulut Hani seraya mengayunkan pisau ke arahku.
Kupejamkan kedua mataku, dengan hati memohon perlindungan serta pasrah kepada Tuhan. “Ya Tuhan, ampunilah segala dosaku…..”
Ketika tangan Hani terangkat ke atas dan siap menghunjamkan pisau ke ulu hatiku, tiba-tiba dari arah selatan melesat seberkas cahaya merah menghantam pergelangan tangannya. Pada saat itu Hani memekik dengan tubuh terhuyung. Tak lama kemudian, tahu-tahu di depanku telah berdiri sesosok lelaki tua.
“Kau….?” desis suara dari mulut Hani dengan mata membelalak ketika melihat sosok lelaki tua yang menolongku.
“Ya, aku Darga, suamimu, Sekarsih…. Kau memang wanita binal! Meski wujudmu sudah berubah, masih saja kebinalanmu membawa korban!” dengus lelaki tua yang mengaku bernama Darga itu tajam. “Jika kau mau membalas dendam, seharusnya akulah yang kau balas, Sekarsih. Bukan pasangan muda ini. Keluarlah dari raganya, Sekarsih. Ayo, ikut aku….”
“Tidak! Aku tak akan pergi sebelum menuntaskan dendamku!” tolak Sekarsih.
“Dendam apa lagi, Sekarsih? Dendammu hanya padaku, karena akulah yang telah menguburmu hidup-hidup. Namun itu semua kulakukan demi keamanan dan keselamatan manusia. Sebab jika kau dibiarkan hidup, maka korban akan terus berjatuhan. Sayang, rupanya wanita malang itu sedang haid ketika melihatmu sehingga dengan mudah kau mampu menguasainya.”
“Hua ha ha ha…. Itu memang sudah lama kutunggu, Darga! Lima puluh tahun lamanya aku menunggu saat-saat seperti ini….. sampai aku menemukan wanita muda yang subur ini dan melalui raganya aku bisa hamil sehingga terpenuhilah syaratku untuk membalas dendam.”
“Hentikan Sekarsih. Kumohon, jangan sakiti mereka,” pinta Darga.
“Baik, tapi sebelum aku pergi, kuminta kau mau menyetubuhiku, suamiku. Lama kita tak bermesraan, suamiku….”
Darga tampak bimbang mendengar permintaan roh Sekarsih. Bagaimana mungkin dia harus menyetubuhi Hani? Meski raga Hani dikuasai oleh roh Sekarsih, tetap saja yang berhubungan badan adalah raga Hani.
“Itu tak mungkin kulakukan, Sekarsih. Raga yang kau tempati adalah istri lelaki muda ini. Kumohon, mengertilah…..”
“Persetan! Aku tak akan keluar dari raga ini sebelum kau ikut menanamkan benihmu ke dalam rahimnya!” tegas Sekarsih tetap pada pendiriannya tak akan meninggalkan raga Hani kalau Darga tak mau menyetubuhinya.
“Aku merasakan tubuh wanita ini sedang memasuki masa suburnya sejak dua hari yang lalu. Sel-sel telurnya yang masak sudah menunggu untuk dibuahi oleh benihmu. Gairah seksualnya sedang berada di puncak …. dan dengan aku yang mengendalikan tubuhnya, lengkaplah sudah yang kita perlukan untuk memuaskan dendam nafsu kita selama lima puluh tahun.”
“Maaf, anak muda….” desah Darga penuh sesal.
“Saya mengerti, Pak.”
Darga pun melangkah mendekat. Sekarsih tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya yang menyeramkan berubah kembali menjadi wajah Hani, istriku yang cantik. Aku hanya bisa memejamkan mata, tak mampu menyaksikan pemandangan yang menyakitkan itu. Istriku yang sejak tadi masih bugil, yang raganya dikuasai oleh Sekarsih, dengan mesra memeluk dan mencumbu seorang lelaki tua renta yang usianya pun lebih tua daripada kakeknya sendiri.
Istriku menciumi mulut Darga dengan mesranya seakan baru saja bertemu dengan seorang kekasih yang telah lama tak berjumpa. Dengan mesra dan menggoda, ia pun melucuti seluruh pakaian Darga sehingga tampaklah tubuh rentanya yang kurus dan penuh dengan keriput. Karena Darga telah mencapai usia yang uzur, istriku merasa harus membantu merangsang nafsu seksualnya.
Ia pun berlutut di depan Darga dan memasukkan alat vital lelaki tua itu ke dalam mulutnya. Sama seperti yang ia lakukan terhadap Pak Ramon hanya beberapa waktu yang lalu. Hal yang tak pernah dilakukannya terhadapku, suaminya sendiri. Aku hanya dapat menatap perlakuan istimewa istriku terhadap lelaki-lelaki itu dengan cemburu.
Rupanya cara itu memang manjur untuk mengembalikan gairah Darga yang sudah mulai sulit untuk bangkit. Lelaki tua itu pun melenguh kenikmatan dan tangannya secara spontan memegangi ubun-ubun istriku seolah takut kalau ia menghentikan kegiatannya. Istriku tampak senang melihat hasil kerjanya dan semakin bersemangat melakukannya. Kini istriku melakukannya sambil sesekali tersenyum dan terus memandang ke atas ke wajah Darga. Mata mereka pun saling berpandangan dengan mesranya…. Tampaknya di satu sisi Darga pun tak bisa menyembunyikan perasaan rindunya akan pelayanan istrinya yang binal tapi memuaskan itu.
“Oh, jangan sekarang, sayang…..” kata istriku ketika merasakan cairan bening sebelum air mani dari penis Darga sudah mulai membanjiri mulutnya. Tampaknya lelaki tua renta itu sudah hampir mencapai orgasme. Dikeluarkannya kemaluan Darga yang sudah mengeras seperti batu dari dalam mulutnya yang basah. “Aku ingin kau ikut menanamkan benihmu ke dalam rahim perempuan ini…..”
Hani pun membaringkan tubuhnya yang polos itu ke tanah, sementara Darga tanpa dikomando lagi langsung menindih dan memasuki tubuh istriku.
Setelah memompa beberapa lama, tampak Darga tak kuat lagi menahan desakan pada alat kelaminnya. Lenguhannya terdengar berat dan disemprotkannyalah semua air mani yang bisa dikeluarkannya ke dalam tubuh istriku. Hani pun tampaknya mengalami orgasme yang hebat tak lama setelah itu. Rintihan panjang keluar dari bibirnya disertai dengan ekspresi wajah yang sangat puas. Dendam nafsunya seolah terbalaskan pada saat itu juga.
Saat itu juga tampak Darga terjatuh dan sepenuhnya menimpa istriku. Hani pun tak berapa lama kemudian tertidur karena kelelahan. Sementara selama beberapa saat aku terbengong-bengong tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dari raga Darga keluar sesosok bayangan gaib lelaki muda. Sementara itu dari raga Hani pun keluar sesosok bayangan wanita muda yang sangat cantik. Rupanya itulah Sekarsih. Sosok keduanya lalu menghilang begitu saja.
Aku baru sadar bahwa Darga telah meninggal. Jantungnya sudah tak berdetak lagi. Dengan khawatir aku memeriksa Hani. Syukurlah….. ternyata istriku itu masih hidup. Hanya saja ia tertidur karena kelelahan. Dengan susah payah aku segera melepaskan mayat lelaki tua itu dari tubuh istriku. Rupanya nyawa Darga melayang tepat ketika ia mencapai orgasme. Alat kelaminnya masih dalam keadaan tegang dan kaku sehingga masih cukup kokoh menyatu dengan alat kelamin istriku. Tanpa berpikir untuk mengurusi mayat kedua lelaki itu, aku segera membopong tubuh istriku yang telanjang kembali ke rumah. Hari masih malam dan suasana di sekitar situ sangat sepi jauh dari pemukiman penduduk. Bagaimana pun aku takut kalau-kalau ada orang yang memergoki kami di sana dalam keadaan seperti itu.
Sesampai di rumah aku langsung memakaikan gaun kepada tubuh istriku yang telanjang bulat dan membaringkannya di tempat tidur. Sengaja aku tak memandikannya walaupun tubuhnya penuh dengan keringat dan air mani dari dua orang lelaki yang telah menyetubuhinya malam ini, karena aku tak mau membangunkannya. Aku seperti yakin bahwa jika ia terbangun esok pagi, tak sedikit pun kejadian malam ini dan juga malam-malam sebelumnya yang akan diingatnya. Aku sendiri tak bisa tidur semalaman. Melihat langsung istriku yang muda dan cantik disetubuhi oleh 4 orang lelaki selama 3 malam berturut-turut jelas bukan suatu pengalaman yang pernah kubayangkan sebelumnya. Sampai pagi pikiranku tak bisa lepas dari hal itu.
Benar saja, keesokan harinya ketika bangun istriku seolah-olah tak tahu kejadian-kejadian dahsyat yang telah terjadi sebelumnya.
“Ada apa, Mas?” tanya Hani ketika bangun dan melihat aku sedang memandanginya.
“Entahlah. Yang kutahu kau sedang hamil, sayang….” jawabku yang memang bingung tak tahu harus berkata apa.
“Benarkah? Tahu dari mana kau, Mas..?”
“Percayalah…..”
Aku tersenyum mengangguk. Kupeluk istriku dengan erat. Aku tak mau memikirkan apa yang telah terjadi terhadap istriku. Yang kumau hanyalah aku tak ingin kehilangan dia karena aku sangat mencintainya. Kuciumi seluruh wajahnya, yang membuat istriku merintih kegelian.
Pengalaman Sumanto - Kaligangsa
Dituturkan kepada Suripto